Selasa, 29 September 2009

Sudah Hampir Satu Tahun 17 Lampu PJU Kawasan Sampay Dibiarkan Mati


Hampir satu tahun lamanya, sebanyak 17 lampu Penerangan Jalan Umum (PJU) di kawasan (daerah –red) Sampay Kecamatan Warunggunung Kabupaten Lebak dibiarkan mati. Hal ini mengakibatkan suasana malam di kawasan tersebut tidak begitu terlihat terang dan indah.

Ica (60) warga Sampay yang sempat dikonfirmasi MN dikediamannya belum lama ini mengungkapkan, di daerah Sampay disebelah kanan - kiri jalan raya terdapat lampu PJU, namun hampir satu tahun lampu PJU sebelah kiri jalan raya dari arah Rangkasbitung kondisinya tidak menyala alias mati.

Dirinya, lanjut Ica, pernah memberitahu dan menanyakan ke pihak terkait (PLN) atas matinya beberapa lampu PJU tersebut, tapi hingga kini belum ada tindakan perbaikan dari PLN untuk menyalakan kemabali PJU itu.

“Saya pernah ngobrol dengan orang PLN mengenai masalah ini, jawabannya nanti diperbaiki. Namun hingga kini lampu PJU itu masih belum menyala,” kata Ica.

Hal senada dikatakan Epi (30) dikatakannya, sebanyak 17 lampu PJU yang mati terjadi disebelah jalan, mulai dari dekat SMP Negeri 1 Warunggunung (Jalan Raya Pandeglang) hingga ke kawasan Sampay ( Jalan Raya Sampay – Cileles).

Masih kata Epi, dengan matinya lampu PJU tersebut, menandakan instansi atau dinas terkait terkesan kurang peduli dan tidak bertanggungjawab. Pasalnya, para konsumen listrik dalam kewajiban setiap bulan membayar iuran listrik ada sedikit persentase untuk membayar PJU sehingga tidak alasan lain untuk tidak memperbaiki PJU karena PJU tersebut telah dibayar oleh para konsumen listrik.

“Kami (konsumen listrik –red) telah memenuhi kewajiban kami membayar listrik, maka berikan hak kami dalam mengadaan atau perbaikan PJU didaerah kami,” katanya pada MN belum lama ini.


Listrik Sering Padam


Selain itu, seringnya listrik padam juga menjadi kekecewaan warga (konsumen –red). Seperti dituturkan Budi, (30) pemilik Warung Internet (Warnet) didaerah Sampay.

Dikatakan Budi, dengan sering padamnya listrik akan sangat dirasakan dampak yang negatif dan mengganggu pada usaha Warnet yang dimilikinya. Padahal lanjut Budi, pihaknya selalu memenuhi kewajiban membayar tagihan listrik tiap bulannya tapi kenapa pihak PLN dalam memberikan pelayanan terhadap konsumen kurang maksimal dirasakan. Tidak seperti, ketika para konsumen listrik telat dalam membayar listrik, pihak PLN langsung memberikan sanksi atau denda bahkan mengancam akan mencabut.

“Kalau kita telat sehari saja membayar listrik tiap bulannya, langsung kena denda. Tapi tatkala listrik sering padam tanpa adanya pemberitahuan dan merugikan konsumen lalu kita melapornya, dengan nada biasa PLN menjawab, maaf pak, kami akan secepatnya memperbaiki,” kata Budi dengan nada kesal.

Sering padamnya listrik ini, dirasakan Budi, terkadang lama padamnya ada juga sebentar mati sebentar hidup lalu mati dan hidup lagi, kejadian padamnya listrik seperti itu, menurut Budi, dapat membuat kerusakan pada barang-barang elektronik.

“Sudah 3 unit komputer saya yang rusak, kuat dugaan saya, rusak akibat sering padamnya listrik yang kejadiaannya mati nyala lalu mati lagi lalu nyala lagi. Kalau sering seperti itu, usaha saya bisa-bisa tutup,” tegas Budi.

Saat MN hendak mengkonfirmasi masalah tersebut, Kepala Menejer UPJ PLN Rangkasbitung H.M.Tohir tidak ada dikantor. “Bapaknya gak ada, lagi ke Serang,” kata satpam di kantor tersebut.

RA. Sudrajat

Rabu, 09 September 2009

Sejumlah Warga Mempertanyakan Kegiatan Pemeliharaan Jalan Raya Sampay – Cileles Terkesan Asal Tambal


Penambalan jalan pada kegiatan pemeliharaan Jalan Raya Sampay – Cileles sepanjang kurang lebih 6 kilometer yang dilaksanakan oleh Dinas Bina Marga Provinsi Banten, oleh sejumlah warga pengguna jalan tersebut dipertanyakan. Pasalnya, kegiatan penambalan jalan yang rusak dan berlubang di Jalan Raya tersebut terkesan asal jadi atau asal tambal.

Saen (30) Sopir angkot jurusan Terminal Mandala – Koncang yang setiap hari melalui jalan itu merasa aneh melihat kegiatan penambalan jalan tersebut. Menurut Saen, pada tahun lalu kegiatan penambalan jalan yang rusak dan berlubang menggunakan Hotmix sehingga terlihat rapih dan enak dilalui oleh kendaraan, namun pada tahun ini penambalan jalan menggunakan aspal curah/lapen yang cara pengerjaannya terkesan asal-asalan sehingga walaupun sudah ditambal jalan yang berlubang tidak enak dilalui oleh kendaraan dan terlihat dan dirasakan jalan tersebut bergelombang.

“Kenapa ya, tahun lalu penambalan jalan menggunakan Hotmix, tapi sekarang penambalan jalan menggunakan aspal siram (aspal curah/lapen). Pengerjaannya pun kurang bagus, jalan terasa bergelombang,” kata Saen pada MN belum lama ini.

Ada lagi, Juen (40) warga Desa Sumurbandung, Kecamatan Cikulur Kabupaten Lebak. menurutnya, kalau melihat cara pengerjaan penambalan pada kegiatan pemeliharaan Jalan Raya Sampay – Cileles tidak mengedepankan baik dari segi mutu dan kualitas jalan, sehingga nantinya jalan rusak dan berlubang yang telah ditambal tidak akan bertahan lama dan akan mengalami kerusakan lagi. Pada kegiatan tersebut, lanjut Juen, penambalan jalan menggunakan aspal curah (lapen) dan di Stum (diratakan) dengan mesin yang berkapasitas kecil (satu ton). Padahal, Jalan Raya Sampay – Cileles merupakan jalur padat yang sering dilalui kendaraan yang berkapasitas besar sehingga besar kemungkinan dalam waktu tidak lama jalan tersebut akan mengalami kerusakan kembali.

“Kalau melihat cara pengerjaannya seperti itu, Saya yakin tidak lama lagi jalan akan rusak kembali. Sayangkan kegiatan pemeliharaan jalan yang dibiayai dana besar tidak dapat berlangsung lama. Sebentar-bentar rusak,” kata Juen dengan nada kesal.

Terpisah, saat dikonfirmasi pegawai Dinas Bina Marga Provinsi Banten yang juga seorang Pengawas pada kegiatan tersebut, Sandi mengatakan, dirinya hanya ditugaskan untuk mengawasi pekerjaan penambalan jalan pada kegiatan pemeliharaan Jalan Raya Sampay –Cileles dan memberi honor untuk para pekerja. Kalau urusan material (Aspal Curah, Batu Split dan Stum), lanjut Sandi, itu urusan dinas yang mengirim (ngedrop –red) langsung kelapangan.

“Tugas saya cuma mengawasi pekerjaan dan memberi honor para pekerja. Masalah menggunakan aspal curah (lapen) pada kegiatan penambalan ini, karena dari dinasnya yang mengirim. Untuk lebih jelasnya, silahkan bapak wartawan tanya aja langsung ke Dinas ke atasan saya,” jelas Sandi pada MN dilokasi (8/9).
Ketika ditanya kenapa menggunakan mesin perata jalan (Stum) berbobot kecil (satu ton), kata Sandi, bahwa mesin yang dimilikinya berobot 2 ton sedang mengalami kerusakan, sehingga pihaknya meminjam ke Dinas Bina Marga Kabupaten Lebak, namun yang ada hanya berbobot satu ton, karena pihaknya sangat memerlukannya maka diterima mesin Stum tersebut.

“Mesin berbobot satu ton itu kami dapat memijam dari Dinas Bina Marga Kabupaten Lebak, karena mesin kami yang berbobot 2 ton sedang rusak tidak bisa digunakan,” kata Sandi.

RA.Sudrajat

Rabu, 02 September 2009

Diduga Ada Fee Dibalik Pengadaan Buku DIPA MI

Pada kegiatan Daftar Isian Penggunaan Anggaran (DIPA) Madrasah Ibtidayah (MI) di Kabupaten Lebak Provinsi Banten yang dibiayai APBN, Departemen Agama sebesar Rp. 91.500.000 yang terbagi 70% untuk Fisik dan 30 % untuk Peningkatan mutu pendidikan (pengadaan buku -red) diduga ada permainan “bisnis kotor” yang tersistim dan terpola pada kegiatan pengadaan buku tersebut dengan adanya fee ke tangan-tangan para pengelola kegiatan tersebut.

Menurut salah satu rekanan penerbit buku yang namanya tidak mau disebut mengatakan, pembagian fee tersebut bertujuan untuk mempelancar binis buku agar laku terjual ke pihak-pihak sekolah. Pembagian fee tersebut,lanjutnya, diberikan kepada oknum pejabat yang memiliki peranan penting mengelola kegiatan tersebut.

Dijelaskannya, banyak para penerbit buku yang mengincar kegiatan tersebut, sehingga sering terjadinya “perang fee” diantara penerbit itu sendiri. Si oknum pejabat itu biasa mengincar fee paling besar yang akan diberikan kepadanya.

Lanjutnya lagi, menurut perhitungan keuntungan dari bisnis pengadaan buku sebesar 30% hingga 35%. Dari keuntungan sebesar itu, lalu di bagi-bagi ke oknum-oknum tangan pengelola kegiatan, untuk fee setingkat kepala MI sebesar 10% hingga 15% dan untuk pejabat yang lebih tinggi sebesar 5% hingga 10% dan sisanya untuk keuntungan si penerbit itu sendiri.

“Kalau tidak ada fee, kita akan mengalami kesulitan untuk memasarkan buku ke sekolah-sekolah,” katanya pada MN belum lama ini dikediamannya.

Sehingga dengan adanya fee, banyak orang atau oknum pejabat yang mau menerima tawaran untuk menawarkan buku pada sekolah/MI agar mau membelinya dan agak sedikit intervensi mengharuskan membeli buku tersebut.

Dalam hal ini, pemberian fee banyak diakui oleh beberapa Kepala MI yang sempat ditemui MN. Dikatakannya, para rekanan penerbit buku banyak yang datang menawarkan dengan iming-iming fee. Namun, lanjutnya, pada pengadaan buku tersebut sudah ada yang mengarahkan dengan mengintervinsi (atasannya -red) agar membeli kesalah satu penerbit.

“Biasanya sudah diarahkan dari atasnya agar membeli buku kesalah satu penerbit yang ditunjuk. Ya, kita yang dibawah mengikuti aja,” ujar Kepala MI yang namanya minta dirahasiakan.

Walaupun sudah diatur dan diarahkan dari atasannya, lanjutnya, pihaknya masih dapat menerima fee, namun tidak sesuai yang diharapkan (kecil –red) tidak seperti bertransaksi langsung dengan si penerbitnya, agak besar fee yang didapat.

RA. Sudrajat